01 September 2008

Mbah Mangun : Penjelajah Dari Ngolodono



Sederek-sederek kenal foto di atas? Bagi yang berdomisili di Solo utamanya Kauman dan ada di generasi 70-80 an, tentu kenal dengan namanya. Ya, benar namanya Mbah Mangun.

Saya sendiri tak tahu siapa nama panjang Mbah Mangun, tapi yang jelas Mbah Mangun punya catatan khusus kepada keluarga Bani Soelomo Soedomo. Mengapa demikian? Menurut cerita para orang tua dulu, Mbah Mangun beserta istri-nya adalah para pengasuh keluarga Soelomo yang saat itu berada di dusun Ngolodono. Uniknya meski keluarga besar bani Soelomo dan Soedomo sudah pindah ke kota Solo, mbah Mangun tetap menjaga silaturrahim dengan para sedulur-nya yang dulu pernah diasuhnya. Sebuah hubungan yang barangkali unik di jaman sekarang?

Uniknya lagi, kalau ke Solo –tepatnya ke Kauman- apa yang digunakan mbah Mangun? Tidak menggunakan bis, tetapi mengayuh sepeda kebo-nya atau bahkan jalan kaki. Jalan kaki? Ya, bagi orang dulu seperti mbah Mangun jalan lebih dari 30 km dari Ngolodono ke Kauman mungkin bukan sesuatu yang berat. Coba kalau kita yang disuruh jalan dengan rute itu. Bisa-bisa baru keluar dari gapura Ngolodono sudah berkeluh kesah minta dibonceng motor. Ketika sampai Solo pun, tubuh mbah Mangun pun masih terlihat segar, tampak perkasa, tak ada gurat kecapekan di mukanya. Kemana-mana masih tetap menghisap rokok tingwe (linting dewe), di tengah gigi-giginya yang sudah ompong. Sosoknya yang tinggi besar, dengan gurat otot di wajah yang kuat menampakkan, mbah Mangun adalah sosok pekerja keras di masa mudanya. Pantas saja bila kita menjulukinya penjelajah dari dusun Ngolodono.

Jadi, meminjam keistimewaan mbah Mangun dalam melestarikan hubungan silaturrahim dengan simbah-simbah kita semestinya bisa menjadi pelajaran menarik buat kita. Kalaupun kita tidak bisa bertemu secara fisik karena banyaknya keterbatasan, wahana online mungkin bisa menyatukan keluarga keturunan Bani Soelomo Soedomo dimanapun kita berada.




Baca Selanjutnya......

Mengungkap Makna Dibalik Puasa


Bila diperhatikan, ketika Ramadhan datang, tiba-tiba semua orang disekelililing kita berubah jadi alim. Orang-orang yang biasanya tidak pernah datang ke masjid untuk shalat jama’aah, bergegas ke masjid. Bahkan bukan pemandangan asing kalau di awal-awal puasa, apakah itu shalat tarawih atau shalat shubuh setelah sahur pertama, masjid penuh sesak, bahkan sering tak bisa menampung jamaah.


Mengapa itu bisa terjadi di bulan Puasa? Bisa jadi karena puasa Ramadhan adalah ibadah wajib yang paling mendalam bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulan dengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka, tarawih, dan makan sahur selalu membentuk kenangan yang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim. Dalam pandangan Nurcholis Madjid (Cak Nur) ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup. Sebagai contoh, di Kauman Solo, magnet puasa demikian kuat, sehingga orang-orang yang telah ‘keluar’ dari Kauman, sadar atau tidak, sangat bisa merasakan bahwa berpuasa ketika bulan Ramadhan di Kauman akan berbeda dengan tempat tinggalnya sekarang.

Pokok amalan puasa (lahiriah) puasa adalah pengingkaran jasmani dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya, khususnya kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaran yang dilakukan itu semata-mata adalah bentuk kepasrahan diri manusia kepada Khaliq-Nya seperti dalam hadits Qudsi berikut “Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa adalah untuk Ku dan Aku-lah yang akan memberinya pahala”. Jadi hakikat puasa ialah sifatnya yang pribadi dan personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dan Tuhannya. Kerahasiaan ini merupakan letak dan sumber hikmahnya, yakni kerahasiaan berkaitan erat dengan keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang asli dan palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya seteguk air yang dicuri minum ketika seseorang sedang sendirian atau bahkan ketika mengambil air wudlu.

Dalam pandangan Cak Nur, puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Allah yang Maha Hadir dan yang mutlak tak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya, dalam segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Kesadaran ini akan melandasi ketaqwaan atau merupakan hakikat ketaqwaan itu, dan yang membimbing seseorang ke tingkah laku yang lebih baik dan terpuji. Dengan begitu diharapkan pribadi-pribadi yang tampil sebagai seseorang yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia (akhlaqul karimah). Dalam dimensi kerahasiaan itu, dapat ditarik pengertian bahwa puasa adalah sarana pendidikan tanggung jawab pribadi. Puasa bertujuan mendidik kita mendalami keinsyafan akan Allah yang selalu menyertai dan mengawal kita pada setiap saat dan setiap tempat. Dengan dasar keinsyafan itu, hendaknya kita tidak menjalani kehidupan ini dengan santai, enteng, dan remeh, melainkan dengan penuh kesungguhan dan keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan nantinya di hadapan Allah.

Ketika hikmah puasa menguliti aspek tanggung jawab, ada dimensi sosial dalam kehidupan nyata. Tanggung jawab sosial, meminjam istilah Cak Nur, adalah sisi lain dari uang logam yang sama, yang satu sisinya adalah tanggung jawab pribadi. Ini artinya bahwa dalam kenyataannya kedua jenis ini tidak dapat dipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akan mengakibatkan pendiadaan yang lain. Karena itu, di setiap puasa para ulama selalu mengingatkan penanaman solidaritas sosial. Tindakan menolong sesama yang kurang beruntung dalam bentuk sedekah, infak, dan zakat adalah contoh dari tanggung jawab sosial itu. Zakat fitrah yang dikeluarkan ketika bulan Puasa tiba semestinya juga harus fleksibel dengan pergerakan dan perubahan jaman, sehingga zakat fitrah tidak saja dimaknai sebagai aturan yang an sich tertera di kitab, tetapi juga sebuah sistem yang harus selalu disempurnakan dari waktu ke waktu. Kalau dalam pemahaman ukuran zakat fitrah adalah satu sha’, yang kemudian di Tanah Air menjadi 2,5 liter beras atau setara 20 ribu-an rupiah, adalah ukuran jumlah rata-rata orang makan waktu itu, yaitu Arab pada 15 abad lalu, bukan Indonesia abad 21. Dalam pandangan Cak Nur, bila unsur dinamisnya yang dipegang, sebetulnya zakat fitrah itu harus senilai jumlah jatah kita makan sehari. Bagi orang yang tingkat hidupnya sangat makmur, yang barangkali makan seharinya bisa 100 ribu, maka wajib zakat fitrahnya adalah 100 ribu bukan 2,5 liter beras.

Nah, dalam konteks puasa sebagai ajang melatih tanggung jawab pribadi dan sosial itu, sebenarnya makna puasa yang sejati bisa dibangun. Bisakah kita –sebagai anak turun Bani Soelomo-Soedomo- melakukan dengan sebaik-baiknya? Mudah-mudahan.

Akhir kata, Selamat Hari Puasa 1429 H. Selamat mereguk kenikmatan di bulan penuh hikmah ini.



Baca Selanjutnya......

29 Agustus 2008

Makna Di Balik Nyadran


Ketika bulan Sya'ban atau kalau di Jawa disebut sebagai sasi ruwah, biasanya nyadran sering dijumpai. Di desa-desa tertentu, bahkan ketika ada event sadranan malah kadang lebih semarak ketimbang Idul Fitri sekalipun.


Nyadran merupakan tradisi orang Jawa untuk menghormati orang tua atau leluhurnya dengan ziarah kubur dan mendoakannya. Di daerah lain, nyadran dimaknai sebagai bersih makam para leluhur dan sedulur, kemudian bersih desa yang dilakukan dari pagi sampai menjelang zuhur. Istilah nyadran berasal dari kata dasar sadran, dalam bahasa Jawa berarti ziarah, atau dalam bahasa Kawi, sraddha, yang berarti upacara peringatan hari kematian seseorang.

Sebelum Islam datang ke wilayah Jawa, tradisi nyadran dimaknai sebagai peringatan hari kematian seseorang dengan membawa bekal berupa makanan yang tidak enak dimakan, di antaranya daging mentah, getih (darah) ayam, dan kluwak sebagai sesaji. Atas peran Walisongo, tradisi nyadran tetap dipertahankan, hanya saja disusupi ajaran Islam, yang dulunya sekadar memperingati kematian seseorang, diubah menjadi tilik kubur atau ziarah kubur. Pemujaan terhadap leluhur diubah menjadi pemujaan kepada Allah dengan tahlil dan diakhiri dengan kenduren berupa nasi ingkung dan jajanan pasar.

Ziarah kubur, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Sering berkunjung kepada kuburan itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat dan kepada kematian." Jadi, makna dari tradisi nyadran adalah untuk mengingat kematian. Jalaluddin Rahmat (2005) mengungkapkan ziarah kubur terbagi menjadi tiga macam. Pertama, ziarah orang mulia yang masih hidup kepada orang mulia yang telah meninggal. Misalnya, ulama yang mengunjungi kuburan ulama lainnya. Kedua, ziarah orang mulia kepada kuburan orang biasa. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah berziarah kepada perempuan yang pekerjaannya membersihkan masjid. Ketiga, ziarah dari kaum Muslimin yang biasa kepada kaum Muslimin lain. Inilah yang biasa dilakukan kepada orang tua, saudara, kerabat, dan lainnya.

Dalam konteks saat ini,format sadranan seringkali berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Sepengalaman saya, kalau di Ngolodono misalnya, sadranan ditentukan hari sadranan-nya, kemudian sanak saudara (orang yang dikubur di makam tersebut) kumpul di masjid, tahlilan dan mendengar ceramah, dan diakhiri dengan makan bersama.

Persoalannya, apakah sadranan dalam bentuk seperti itu kemudian masih cocok dengan tuntunan jaman? Menurut hemat saya, sadranan untuk mengingat filosofi bahwa kita harus ingat suatu saat akan mati (dan bisa menjadi refleksi untuk selalu berbuat baik di dunia) masih perlu dipertahankan. Kemudian berdoa (tahlilan)semestinya tidak terpatok hanya pada saat nyadran saja, tetapi bisa di berbagai kesempatan.

Saya kira, keluarga besar bani Soelomo Soedomo relatif sudah menerapkan itu. Tugas kita untuk mengingatkan sejatinya sadranan adalah upaya 'membersihkan hati' dan dilanjutkan membersihkan fisik (dengan padusan)untuk bisa 'segar lahir batin' di bulan Ramadhan.

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1429 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin



Foto-foto Nyadran Bani Soelomo-Soedomo era 1987-an




Baca Selanjutnya......

12 Agustus 2008

Sejarah Kumpulan




Assalamu'alaikum

Sederek sedoyo, sejarah kumpulan -ingkang kulo mangertosi saking critanipun ibu-simbah- dipun wiwiti saking era tahun 60-an *mugi-mugi leres pepelingan kulo hehehe*



Nyuwun ngapunten, dicampur pake bahasa Indonesia
Kumpulan yang berarti dalam bahasa Indonesia pertemuan ini memang sudah mentradisi di keturunan mbah Soelomo- Soedomo. Sejak tahun 60-an selepas riyoyo (idul fitri), semua keturunan dikumpulkan di satu tempat -yang selanjutnya dilakukan muter dari rumah ke rumah-. Selain sebagai ajang silaturrahim, kumpulan punya sejuta makna. Tiap tahun rasanya kita bertambah tua, karena generasi kemudian terus berganti. Ibarat daun tua yang tergeser oleh tumbuhnya pucuk daun muda.

Tak percaya? mboten pitadhos?
Panjenengan saget mirsani foto ingkang wonten mriki.
Foto ini di ambil di sekitar tahun 1972-1973, kumpulan diadakan di tempat mbah Ahyani
Keluarga-keluarga sempat berpose bersama (lihat foto)
- Keluarga besar wayah-buyut mbah Soelomo-Soedomo
- Keluarga Pakdhe Amin dan Budhe Yah
- Keluarga Pakdhe Sarwan dan Budhe Nik


Nah, sudah lebih dari empat dasawarsa acara kumpulan tetap berlangsung
Kangge sederek-sederek ingkang bakdho mangkih wangsul dateng Solo
Mugi-mugi saget nyelaaken wekdal wonten Kumpulan

Nuwun

Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Baca Selanjutnya......

11 Agustus 2008

Bani Soelomo-Soedomo Go Online !


Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Sederek-sederek ingkang kawulo hormati
Sak meniko Bani Soelomo-Soedomo insya allah sampun online
Alamatipun wonten http://banisoelomosoedomo.blogspot.com


Monggo-monggo ingkang badhe kirim-kirim kabar utawi bade kirim artikel
Saged kirim wonten alamat email : banisoelomo@gmail.com (administrator-ipun)
Nuwun...

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Baca Selanjutnya......