29 Agustus 2008

Makna Di Balik Nyadran


Ketika bulan Sya'ban atau kalau di Jawa disebut sebagai sasi ruwah, biasanya nyadran sering dijumpai. Di desa-desa tertentu, bahkan ketika ada event sadranan malah kadang lebih semarak ketimbang Idul Fitri sekalipun.


Nyadran merupakan tradisi orang Jawa untuk menghormati orang tua atau leluhurnya dengan ziarah kubur dan mendoakannya. Di daerah lain, nyadran dimaknai sebagai bersih makam para leluhur dan sedulur, kemudian bersih desa yang dilakukan dari pagi sampai menjelang zuhur. Istilah nyadran berasal dari kata dasar sadran, dalam bahasa Jawa berarti ziarah, atau dalam bahasa Kawi, sraddha, yang berarti upacara peringatan hari kematian seseorang.

Sebelum Islam datang ke wilayah Jawa, tradisi nyadran dimaknai sebagai peringatan hari kematian seseorang dengan membawa bekal berupa makanan yang tidak enak dimakan, di antaranya daging mentah, getih (darah) ayam, dan kluwak sebagai sesaji. Atas peran Walisongo, tradisi nyadran tetap dipertahankan, hanya saja disusupi ajaran Islam, yang dulunya sekadar memperingati kematian seseorang, diubah menjadi tilik kubur atau ziarah kubur. Pemujaan terhadap leluhur diubah menjadi pemujaan kepada Allah dengan tahlil dan diakhiri dengan kenduren berupa nasi ingkung dan jajanan pasar.

Ziarah kubur, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Sering berkunjung kepada kuburan itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat dan kepada kematian." Jadi, makna dari tradisi nyadran adalah untuk mengingat kematian. Jalaluddin Rahmat (2005) mengungkapkan ziarah kubur terbagi menjadi tiga macam. Pertama, ziarah orang mulia yang masih hidup kepada orang mulia yang telah meninggal. Misalnya, ulama yang mengunjungi kuburan ulama lainnya. Kedua, ziarah orang mulia kepada kuburan orang biasa. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah berziarah kepada perempuan yang pekerjaannya membersihkan masjid. Ketiga, ziarah dari kaum Muslimin yang biasa kepada kaum Muslimin lain. Inilah yang biasa dilakukan kepada orang tua, saudara, kerabat, dan lainnya.

Dalam konteks saat ini,format sadranan seringkali berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Sepengalaman saya, kalau di Ngolodono misalnya, sadranan ditentukan hari sadranan-nya, kemudian sanak saudara (orang yang dikubur di makam tersebut) kumpul di masjid, tahlilan dan mendengar ceramah, dan diakhiri dengan makan bersama.

Persoalannya, apakah sadranan dalam bentuk seperti itu kemudian masih cocok dengan tuntunan jaman? Menurut hemat saya, sadranan untuk mengingat filosofi bahwa kita harus ingat suatu saat akan mati (dan bisa menjadi refleksi untuk selalu berbuat baik di dunia) masih perlu dipertahankan. Kemudian berdoa (tahlilan)semestinya tidak terpatok hanya pada saat nyadran saja, tetapi bisa di berbagai kesempatan.

Saya kira, keluarga besar bani Soelomo Soedomo relatif sudah menerapkan itu. Tugas kita untuk mengingatkan sejatinya sadranan adalah upaya 'membersihkan hati' dan dilanjutkan membersihkan fisik (dengan padusan)untuk bisa 'segar lahir batin' di bulan Ramadhan.

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1429 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin



Foto-foto Nyadran Bani Soelomo-Soedomo era 1987-an




Baca Selanjutnya......